Berabad-abad lampau ketika peradaban baru dimulai, catatan dan cerita turun temurun dalam budaya masyarakat sudah menunjukkan berbagai kisah rakyat yang terkait astronomi. Sebagai contoh ada kisah Bulan Pejeng (Bali), Pasaggangan" Laggo Samba Sulu atau Pertempuran Matahari dan Bulan (Mentawai), Memecah Matahari (Papua), Manarmakeri (Papua), Hala Na Godang (Batak), Kilip dan Putri Bulan (Dayak Benoaq), Lawaendrona Manusia Bulan (Nias), Bima Sakti (Jawa), Mula Riling=C3=A9"na Sangiang Serri" (Bugis), Batara Kala, Nini Anteh (Jawa Barat).
Penamaan rasi bintang berdasarkan nama lokal menunjukkan, masyarakat Indonesia di masa lampau juga melakukan pengamatan langit. Dalam budaya Jawa, dikenal Gubug Penceng (Salib Selatan), Lintang Wulanjar Ngirim (rasi Centaurus), Joko Belek, Lintang Banyak Angrem, Bintang Layang - Layang, Lintang Pari, Lintang Kartika (Pleiades), Wuluh (Pleaides), Kalapa Doyong (Scorpio), Sapi Gumarang (Taurus), adalah contoh penamaan rasi bintang secara lokal di Indonesia, yang sekaligus menandai kegiatan astronomi amatir di tengah masyarakat di masa lalu.
Kehidupan agraris masyarakat Indonesia juga menjadikan benda-benda langit sebagai petunjuk musim menanam dan musim panen. Di Jawa, rasi Lintang Kartika diasosiasikan juga sebagai tujuh bidadari, yang direpresentasikan dalam tarian Bedhaya Ketawang di Keraton Mataram. Di wilayah Pantai Utara Jawa rasi ini digunakan untuk menandakan waktu (kalender) dalam penanggalan Jawa. Jika rasi ini sudah terbit sekitar 50=C2=B0 di langit, maka musim ketujuh (mangsa kapitu) pun dimulai. Pada musim ini, beras muda harus mulai ditanam di sawah. Saat belum ada kalender, masyarakat setempat telah menggunakan perbintangan untuk menentukan siang dan malam, pasang surut air laut, berbunga dan berbuahnya tanaman, maupun migrasi dan pembiakan hewan. Bagi mereka gejala alam adalah cerminan lintasan waktu
Sedangkan masyarakat Maritim Indonesia, menjadikan obyek langit sebagai panduan navigasi dalam pelayaran. Di tahun 800 Masehi, pembangunan candi Borobudur menjadi penanda lainnya keberadaan astronomi di Indonesia. Borobudur yang dibangun oleh wangsa Syailendra diduga merupakan penanda waktu raksasa di abad ke -8, dimana stupa utama candi berfungsi sebagai penanda waktu.
Masa Penjajahan
Pada abad ke-18, masalah terbesar dalam astronomi adalah penentuan jarak rata-rata antara Bumi dan Matahari. Parameter astronomi yang satu ini merupakan konstantan fundamental dalam sistem heliosentris yang diajukan oleh Copernicus. Pada tahun 1716, Edmund Halley (Inggris), muncul dengan metode penentuan paralaks matahari yang mengacu pada 2 kejadian astronomi yakni transit Venus di tahun 1761 dan 1769. Gerrit de Haan kepala departemen pemetaan di Batavia dan Pieter Jan Soele (Kapten Kapal VOC) sebagai asisten mendatangi Johan Maurits Mohr (18 August 1716, Eppingen - 25 October 1775 ) seorang pastor yang juga seorang penerjemah untuk menterjemahkan peta pengamatan okultasi Venus dari Delisle yang menggunakan Bahasa Prancis. Pada tanggal 6 Juni 1761, ketiganya pun melakukan pengamatan transit Venus dan menerbitkan hasil pengamatan tersebut di tahun 1763.Diterbitkan pada tahun 2004 dalam prosiding IAU dengan judul Observations of the 1761 and 1769 transits of Venus from Batavia (Dutch East Indies)
Setelah pengamatan transit Venus tersebut Mohr mulai dikenal sebagai seorang "astronom", dan di tahun 1765, Pastor Mohr membangun sebuah observatorium pribadi di Batavia (Jakarta) Diyakini observatorium pribadi Mohr itu berada di Gang Torong. Sayangnya observatorium Mohr tidak bertahan lama, hancur oleh gempa bumi dan tinggal puing-puing. Observatorium tersebut dihancurkan dan hanya tinggal nama di awal abad 19. Nama Mohr sendiri diabadikan sebagai nama planet kecil 5494 johanmohr yang ditemukan tahun 1933.
Observatorium Bosscha dan Pendidikan Astronomi di Indonesia
Di awal tahun 1920-an, Nederlandsch-Indische Sterrekundige Vereeniging / NISV (Perhimpunan Astronom Hindia Belanda) mendirikan observatorium di Indonesia.Observatorium ini bertujuan untuk menjadi garda depan pengamatan astronomi di langit selatan. Observatorium itulah yang kemudian dikenal sebagai Bosscha Sterrenwacht atau Observatorium Bosscha yang dibangun dari tahun 1923 - 1928. Pendana utama dari Observatorium Bosscha juga berasal dari kalangan pemerhati astronomi yakni seorang tuan tanah di Malabar bernama Karel Albert Rudolph Bosscha dan seorang pengusaha bernama Ursone. Keduanya kemudian menyerahkan hak kepemilikan tanah mereka kepada NISV.
Selain penyandang dana utama K A R Bosscha juga menyediakan teleskop refraktor ganda Zeiss dan teleskop refraktor Bamberg. Sebagai penghargaan nama Karel Bosscha diabadikan sebagai salah satu nama planetoid yakni (11431) Karelbosscha yang berada di antara Mars dan Jupiter dan ditemukan tahun 1971. Pada tahun 1919, Voute kemudian diminta ke Indonesia untuk menjadi kepala Observatorium Bosscha yang pertama.
Pada masa berkecamuknya Perang Dunia II kegiatan observasi di Bosscha sempat dihentikan dan tidak hanya itu, akibat dari perang menyebabkan hancurnya sebagian fasilitas Observatorium. Di tahun 1951, NISV menyerahkan Observatorium Bosscha kepada pemerintah RI, yang kemudian menjadi bagian dari Institut Teknologi Bandung di tahun 1959 setelah ITB didirikan. Tahun 1951, juga menjadi tonggak berdirinya pendidikan astronomi secara resmi di Indonesia yang ditandai dengan dikukuhkannya G.B. van Albada sebagai Guru Besar Astronomi. Dan pendidikan Astronomi di Indonesia juga sampai saat ini masih bernaung di bawah Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Bandung.
Selain Observatorium Bosscha dan Astronomi ITB, pada tanggal 31 Mei 1962 dibentuk juga Panitia Astronautika dan kemudian pada tanggal 27 november 1963, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) dibentuk dengan Keputusan Presiden Nomor 236 Tahun 1963. LAPAN dalam perkembangannya bergerak dalam hal teknologi kedirgantaraan juga untuk pemanfaatan sains atmosfer, iklim dan antariksa. Akhir tahun 2008, Observatorium Hilal dan Astronomi di Aceh yang dikelola oleh Badan hisab Rukyat selesai dibangun dan berfungsi sebagai situs pengamatan hilal di kawasan ujung barat Indonesia. Selain hilal, observatorium ini bertujuan untuk pengamatan ilmiah astronomi untuk kalangan pelajar dan mahasiswa serta berfungsi dalam hal pendidikan astronomi masyarakat Aceh.
Komunitas Astronomi dan Indonesia Masa Kini
Tahun 1968 Planetarium Jakarta diresmikan dan menjadi mercusuar pengenalan astronomi kepada publik di ibukota negara Indonesia. Di tahun 2002 planetarium lainnya di Tenggarong dengan nama Planetarium Jagat Raya Tenggarong dibuka di Tenggarong Kutai Kertanegara, Kalimantan Timur. Di tahun 1977, dibentuklah Himpunan Astronomi Indonesia (HAI), tujuannya adalah untuk menampung keinginan astronomi di Indonesia termasuk di dalamnya astronom amatir sekaligus mendorong pengamatan astronomi oleh masyarakat. Dan untuk merealisasikan hal tersebut, sekretaris pertama HAI adalah seorang wartawan Pikiran Rakyat yang juga penyuka astronomi. Hal ini dimaksutkan agar informasi astronomi dapat tersampaikan dengan baik kepada masyarakat. Keberadaan HAI juga menjadi kunci penting diterimanya Indonesia di IAU.
Di tahun 1983 saat fenomena gerhana matahari total melewati Indonesia, terjadi peningkatan minat masyarakat terhadap astronomi. Kala itu, Planetarium Jakarta mengadakan pengamatan Gerhana Matahari Total (GMT) 1983 dan dalam persiapannya ada salah satu anggota Pramuka yang sering ikut serta bernama Kak Har. Dan ternyata setelah pengamatan GMT berakhir, Kak Har dkk masih sering berkumpul dengan Pak Darsa untuk membicarakan persiapan pengamatan komet Halley di tahun 1985 / 1986. Maka akhirnya dibentuklah Himpunan Astronomi Amatir Jakarta di tahun 1984. HAAJ kemudian berkiprah untuk menampung para pecinta astronomi di Jakarta dan sekitarnya, serta melakukan pengamatan publik di sekolah-sekolah. Di Tahun 1989 HAAJ sempat vakum dan setelah Widya Sawitar masuk ke Planetarium Jakarta di tahun 1992, pada tahun 1994 HAAJ memulai kembali kegiatannya. Di tahun 2010, HAAJ kehilangan salah seorang motor penggeraknya yang juga mantan ketua HAAJ yakni Tersia Marsiano yang meninggal tanggal 6 Desember 2010.
Sampai hari ini terhitung HAAJ adalah kelompok astronomi amatir paling aktif yang ada di Indonesia. Di era-90an, mahasiswa Astronomi ITB sempat membentuk beberapa kelompok pecinta astronomi untuk mewadahi penggemar langit ini di Bandung seperti misalnya HAAB dan Zenith yang kemudian non aktif sampai saat ini. Di luar astronomi ITB, kelompok mahasiswa Fisika UPI juga membentuk himpunan pecinta astronomi bernama Cakrawala.
Penamaan rasi bintang berdasarkan nama lokal menunjukkan, masyarakat Indonesia di masa lampau juga melakukan pengamatan langit. Dalam budaya Jawa, dikenal Gubug Penceng (Salib Selatan), Lintang Wulanjar Ngirim (rasi Centaurus), Joko Belek, Lintang Banyak Angrem, Bintang Layang - Layang, Lintang Pari, Lintang Kartika (Pleiades), Wuluh (Pleaides), Kalapa Doyong (Scorpio), Sapi Gumarang (Taurus), adalah contoh penamaan rasi bintang secara lokal di Indonesia, yang sekaligus menandai kegiatan astronomi amatir di tengah masyarakat di masa lalu.
Kehidupan agraris masyarakat Indonesia juga menjadikan benda-benda langit sebagai petunjuk musim menanam dan musim panen. Di Jawa, rasi Lintang Kartika diasosiasikan juga sebagai tujuh bidadari, yang direpresentasikan dalam tarian Bedhaya Ketawang di Keraton Mataram. Di wilayah Pantai Utara Jawa rasi ini digunakan untuk menandakan waktu (kalender) dalam penanggalan Jawa. Jika rasi ini sudah terbit sekitar 50=C2=B0 di langit, maka musim ketujuh (mangsa kapitu) pun dimulai. Pada musim ini, beras muda harus mulai ditanam di sawah. Saat belum ada kalender, masyarakat setempat telah menggunakan perbintangan untuk menentukan siang dan malam, pasang surut air laut, berbunga dan berbuahnya tanaman, maupun migrasi dan pembiakan hewan. Bagi mereka gejala alam adalah cerminan lintasan waktu
Sedangkan masyarakat Maritim Indonesia, menjadikan obyek langit sebagai panduan navigasi dalam pelayaran. Di tahun 800 Masehi, pembangunan candi Borobudur menjadi penanda lainnya keberadaan astronomi di Indonesia. Borobudur yang dibangun oleh wangsa Syailendra diduga merupakan penanda waktu raksasa di abad ke -8, dimana stupa utama candi berfungsi sebagai penanda waktu.
Masa Penjajahan
Pada abad ke-18, masalah terbesar dalam astronomi adalah penentuan jarak rata-rata antara Bumi dan Matahari. Parameter astronomi yang satu ini merupakan konstantan fundamental dalam sistem heliosentris yang diajukan oleh Copernicus. Pada tahun 1716, Edmund Halley (Inggris), muncul dengan metode penentuan paralaks matahari yang mengacu pada 2 kejadian astronomi yakni transit Venus di tahun 1761 dan 1769. Gerrit de Haan kepala departemen pemetaan di Batavia dan Pieter Jan Soele (Kapten Kapal VOC) sebagai asisten mendatangi Johan Maurits Mohr (18 August 1716, Eppingen - 25 October 1775 ) seorang pastor yang juga seorang penerjemah untuk menterjemahkan peta pengamatan okultasi Venus dari Delisle yang menggunakan Bahasa Prancis. Pada tanggal 6 Juni 1761, ketiganya pun melakukan pengamatan transit Venus dan menerbitkan hasil pengamatan tersebut di tahun 1763.Diterbitkan pada tahun 2004 dalam prosiding IAU dengan judul Observations of the 1761 and 1769 transits of Venus from Batavia (Dutch East Indies)
Setelah pengamatan transit Venus tersebut Mohr mulai dikenal sebagai seorang "astronom", dan di tahun 1765, Pastor Mohr membangun sebuah observatorium pribadi di Batavia (Jakarta) Diyakini observatorium pribadi Mohr itu berada di Gang Torong. Sayangnya observatorium Mohr tidak bertahan lama, hancur oleh gempa bumi dan tinggal puing-puing. Observatorium tersebut dihancurkan dan hanya tinggal nama di awal abad 19. Nama Mohr sendiri diabadikan sebagai nama planet kecil 5494 johanmohr yang ditemukan tahun 1933.
Observatorium Bosscha dan Pendidikan Astronomi di Indonesia
Di awal tahun 1920-an, Nederlandsch-Indische Sterrekundige Vereeniging / NISV (Perhimpunan Astronom Hindia Belanda) mendirikan observatorium di Indonesia.Observatorium ini bertujuan untuk menjadi garda depan pengamatan astronomi di langit selatan. Observatorium itulah yang kemudian dikenal sebagai Bosscha Sterrenwacht atau Observatorium Bosscha yang dibangun dari tahun 1923 - 1928. Pendana utama dari Observatorium Bosscha juga berasal dari kalangan pemerhati astronomi yakni seorang tuan tanah di Malabar bernama Karel Albert Rudolph Bosscha dan seorang pengusaha bernama Ursone. Keduanya kemudian menyerahkan hak kepemilikan tanah mereka kepada NISV.
Selain penyandang dana utama K A R Bosscha juga menyediakan teleskop refraktor ganda Zeiss dan teleskop refraktor Bamberg. Sebagai penghargaan nama Karel Bosscha diabadikan sebagai salah satu nama planetoid yakni (11431) Karelbosscha yang berada di antara Mars dan Jupiter dan ditemukan tahun 1971. Pada tahun 1919, Voute kemudian diminta ke Indonesia untuk menjadi kepala Observatorium Bosscha yang pertama.
Pada masa berkecamuknya Perang Dunia II kegiatan observasi di Bosscha sempat dihentikan dan tidak hanya itu, akibat dari perang menyebabkan hancurnya sebagian fasilitas Observatorium. Di tahun 1951, NISV menyerahkan Observatorium Bosscha kepada pemerintah RI, yang kemudian menjadi bagian dari Institut Teknologi Bandung di tahun 1959 setelah ITB didirikan. Tahun 1951, juga menjadi tonggak berdirinya pendidikan astronomi secara resmi di Indonesia yang ditandai dengan dikukuhkannya G.B. van Albada sebagai Guru Besar Astronomi. Dan pendidikan Astronomi di Indonesia juga sampai saat ini masih bernaung di bawah Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Bandung.
Selain Observatorium Bosscha dan Astronomi ITB, pada tanggal 31 Mei 1962 dibentuk juga Panitia Astronautika dan kemudian pada tanggal 27 november 1963, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) dibentuk dengan Keputusan Presiden Nomor 236 Tahun 1963. LAPAN dalam perkembangannya bergerak dalam hal teknologi kedirgantaraan juga untuk pemanfaatan sains atmosfer, iklim dan antariksa. Akhir tahun 2008, Observatorium Hilal dan Astronomi di Aceh yang dikelola oleh Badan hisab Rukyat selesai dibangun dan berfungsi sebagai situs pengamatan hilal di kawasan ujung barat Indonesia. Selain hilal, observatorium ini bertujuan untuk pengamatan ilmiah astronomi untuk kalangan pelajar dan mahasiswa serta berfungsi dalam hal pendidikan astronomi masyarakat Aceh.
Komunitas Astronomi dan Indonesia Masa Kini
Tahun 1968 Planetarium Jakarta diresmikan dan menjadi mercusuar pengenalan astronomi kepada publik di ibukota negara Indonesia. Di tahun 2002 planetarium lainnya di Tenggarong dengan nama Planetarium Jagat Raya Tenggarong dibuka di Tenggarong Kutai Kertanegara, Kalimantan Timur. Di tahun 1977, dibentuklah Himpunan Astronomi Indonesia (HAI), tujuannya adalah untuk menampung keinginan astronomi di Indonesia termasuk di dalamnya astronom amatir sekaligus mendorong pengamatan astronomi oleh masyarakat. Dan untuk merealisasikan hal tersebut, sekretaris pertama HAI adalah seorang wartawan Pikiran Rakyat yang juga penyuka astronomi. Hal ini dimaksutkan agar informasi astronomi dapat tersampaikan dengan baik kepada masyarakat. Keberadaan HAI juga menjadi kunci penting diterimanya Indonesia di IAU.
Di tahun 1983 saat fenomena gerhana matahari total melewati Indonesia, terjadi peningkatan minat masyarakat terhadap astronomi. Kala itu, Planetarium Jakarta mengadakan pengamatan Gerhana Matahari Total (GMT) 1983 dan dalam persiapannya ada salah satu anggota Pramuka yang sering ikut serta bernama Kak Har. Dan ternyata setelah pengamatan GMT berakhir, Kak Har dkk masih sering berkumpul dengan Pak Darsa untuk membicarakan persiapan pengamatan komet Halley di tahun 1985 / 1986. Maka akhirnya dibentuklah Himpunan Astronomi Amatir Jakarta di tahun 1984. HAAJ kemudian berkiprah untuk menampung para pecinta astronomi di Jakarta dan sekitarnya, serta melakukan pengamatan publik di sekolah-sekolah. Di Tahun 1989 HAAJ sempat vakum dan setelah Widya Sawitar masuk ke Planetarium Jakarta di tahun 1992, pada tahun 1994 HAAJ memulai kembali kegiatannya. Di tahun 2010, HAAJ kehilangan salah seorang motor penggeraknya yang juga mantan ketua HAAJ yakni Tersia Marsiano yang meninggal tanggal 6 Desember 2010.
Sampai hari ini terhitung HAAJ adalah kelompok astronomi amatir paling aktif yang ada di Indonesia. Di era-90an, mahasiswa Astronomi ITB sempat membentuk beberapa kelompok pecinta astronomi untuk mewadahi penggemar langit ini di Bandung seperti misalnya HAAB dan Zenith yang kemudian non aktif sampai saat ini. Di luar astronomi ITB, kelompok mahasiswa Fisika UPI juga membentuk himpunan pecinta astronomi bernama Cakrawala.
0 komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.