Masalah prostitusi atau pelacuran memang sudah menjadi masalah clasic yang sulit di singkirkan dari kota kota besar. Walupun sudah dilakukan beberapa tindakan seperti razia, dan bimbingan sosial bagi para pelakunya, namun nyata prostitusi masih saja berjalan secara ilegal di kota kota besar.
Tak heran jika di beberapa negara melegalkan tempat prostitusi dan memengut pajak dari hasil bisnis tersebut.
Di Jakarta sendiri praktek prostitusi dipercaya telah ada sejak zaman VOC menguasai Batvia abad ke-17. Menurut catatan yang ditulis dalam Ensiklopedia Jakarta terbitan Dinas Kebudayaan dan Permuseuman Pemprov DKI Jakata Tahun 2005, lokalisasi pertama mulai muncul di daerah Kota.
Ketika itu, pusat niaga dan keramaian memang berpusat di wilayah yang kita kenal sebagai kawasan Kota Tua. Lokalisasi pertama yang berdiri terletak di dekat Stasiun Kota, Jakarta. Lokalisasi itu bernama Macao Po.
Macao Po ini merupakan lokalisasi kelas atas. Pengunjungnya adalah pejabat VOC yang memang doyan main wanita dan korupsi. Selain mereka, para pelanggan yang datang juga terdapat saudagar Tionghoa. Tidak heran jika kemudian sebagian pelacur yang ada di sini diimpor langsung dari Makau, China.
Jika Macao Po menjadi lokalisasi untuk kelas atas, maka ada juga lokalisasi untuk kelas bawah. Yakni terletak di Gang Mangga, tidak jauh dari Macao Po berada. Di sini, para pelacur yang menjajakan dirinya pun lebih beragam, mulai dari pribumi, keturunan hingga Tionghoa.
Karena tarifnya yang murah, tentu saja pelayanan kesehatan para pelacur di kawasan ini buruk. Alhasil penyakit sipilis merebak hingga abad ke-19. Saking identiknya, Gang Mangga pun dijadikan nama lain dari penyakit itu.
Bisnis terlarang ini kemudian terus berkembang. Persaingan pun semakin sengit karena orang Tionghoa mulai mendirikan banyak rumah bordil yang disebut dengan Soehian. Kehadiran rumah-rumah bordil itu menjadi saingan baru kawasan Gang Mangga. Keributan pun kerap terjadi di lokalisasi ini sehingga pada akhirnya ditutup pada awal abad ke-20.
Setelah Indonesia merdeka, pelacuran terus menjamur di Jakarta. Pusat-pusat lokalisasi yang terkenal antara lain di Gang Hauber di kawasan Petojo, Jakarta Pusat.
Wali Kota Sudiro mengganti nama Gang Hauber menjadi Gang Sadar untuk mengubah citra lokalisasi ini pada pertengahan 1950-an. Tapi praktik pelacuran masih berlangsung hingga era 1980-an.
Saat Ali Sadikin ditunjuk menjadi Gubernur, tempat pelacuran yang telah menjamur itu kemudian digusur. Semua pelacur dikumpulkan dan kembali dilokalisir di kawasan yang dikenal dengan Kramat Tunggak, Jakarta Utara. Meski sempat mendapat banyak tentangan, toh Ali Sadikin tidak bergeming.Dia mengaku lebih baik melokalisir pelacur agar mudah dibina daripada melihat pelacur berkeliaran tanpa pengawasan.
Seiring berjalannya waktu, lokalisasi Kramat Tunggak semakin menggeliat. Dengan luas tanah mencapai 12 hektar pada periode tahun 70-80an, banyak pelacur dari daerah berdatangan. Bahkan bisa dibilang mereka mendominasi. Kebanyakan dari mereka berasal dari Pantura seperti Subang, Indramayu dan Cirebon. Jumlah pelacur yang ada saat itu mencapai 2.000 orang.
Kondisi itu membuat nama Kramat Tunggak tenar ke penjuru Asia. Bahkan lokalisasi ini dikenal sebagai tempat prostitusi terbesar di Asia Tenggara sebelum akhirnya dibubarkan tahun 1999 oleh Gubernur Sutiyoso dan diganti menjadi Islamic center.
Tapi seperti yang sudah-sudah, langkah itu tidak serta merta membuat prostitusi benar-benar mati. Para wanita penjaja cinta demi mendapatkan lembaran uang itu kembali berkeliaran di jalan-jalan. Menggoda setiap pria hidung belang yang membutuhkan hiburan seks.
Tak heran jika di beberapa negara melegalkan tempat prostitusi dan memengut pajak dari hasil bisnis tersebut.
Di Jakarta sendiri praktek prostitusi dipercaya telah ada sejak zaman VOC menguasai Batvia abad ke-17. Menurut catatan yang ditulis dalam Ensiklopedia Jakarta terbitan Dinas Kebudayaan dan Permuseuman Pemprov DKI Jakata Tahun 2005, lokalisasi pertama mulai muncul di daerah Kota.
Ketika itu, pusat niaga dan keramaian memang berpusat di wilayah yang kita kenal sebagai kawasan Kota Tua. Lokalisasi pertama yang berdiri terletak di dekat Stasiun Kota, Jakarta. Lokalisasi itu bernama Macao Po.
Macao Po ini merupakan lokalisasi kelas atas. Pengunjungnya adalah pejabat VOC yang memang doyan main wanita dan korupsi. Selain mereka, para pelanggan yang datang juga terdapat saudagar Tionghoa. Tidak heran jika kemudian sebagian pelacur yang ada di sini diimpor langsung dari Makau, China.
Jika Macao Po menjadi lokalisasi untuk kelas atas, maka ada juga lokalisasi untuk kelas bawah. Yakni terletak di Gang Mangga, tidak jauh dari Macao Po berada. Di sini, para pelacur yang menjajakan dirinya pun lebih beragam, mulai dari pribumi, keturunan hingga Tionghoa.
Karena tarifnya yang murah, tentu saja pelayanan kesehatan para pelacur di kawasan ini buruk. Alhasil penyakit sipilis merebak hingga abad ke-19. Saking identiknya, Gang Mangga pun dijadikan nama lain dari penyakit itu.
Bisnis terlarang ini kemudian terus berkembang. Persaingan pun semakin sengit karena orang Tionghoa mulai mendirikan banyak rumah bordil yang disebut dengan Soehian. Kehadiran rumah-rumah bordil itu menjadi saingan baru kawasan Gang Mangga. Keributan pun kerap terjadi di lokalisasi ini sehingga pada akhirnya ditutup pada awal abad ke-20.
Setelah Indonesia merdeka, pelacuran terus menjamur di Jakarta. Pusat-pusat lokalisasi yang terkenal antara lain di Gang Hauber di kawasan Petojo, Jakarta Pusat.
Wali Kota Sudiro mengganti nama Gang Hauber menjadi Gang Sadar untuk mengubah citra lokalisasi ini pada pertengahan 1950-an. Tapi praktik pelacuran masih berlangsung hingga era 1980-an.
Saat Ali Sadikin ditunjuk menjadi Gubernur, tempat pelacuran yang telah menjamur itu kemudian digusur. Semua pelacur dikumpulkan dan kembali dilokalisir di kawasan yang dikenal dengan Kramat Tunggak, Jakarta Utara. Meski sempat mendapat banyak tentangan, toh Ali Sadikin tidak bergeming.Dia mengaku lebih baik melokalisir pelacur agar mudah dibina daripada melihat pelacur berkeliaran tanpa pengawasan.
Seiring berjalannya waktu, lokalisasi Kramat Tunggak semakin menggeliat. Dengan luas tanah mencapai 12 hektar pada periode tahun 70-80an, banyak pelacur dari daerah berdatangan. Bahkan bisa dibilang mereka mendominasi. Kebanyakan dari mereka berasal dari Pantura seperti Subang, Indramayu dan Cirebon. Jumlah pelacur yang ada saat itu mencapai 2.000 orang.
Kondisi itu membuat nama Kramat Tunggak tenar ke penjuru Asia. Bahkan lokalisasi ini dikenal sebagai tempat prostitusi terbesar di Asia Tenggara sebelum akhirnya dibubarkan tahun 1999 oleh Gubernur Sutiyoso dan diganti menjadi Islamic center.
Tapi seperti yang sudah-sudah, langkah itu tidak serta merta membuat prostitusi benar-benar mati. Para wanita penjaja cinta demi mendapatkan lembaran uang itu kembali berkeliaran di jalan-jalan. Menggoda setiap pria hidung belang yang membutuhkan hiburan seks.
0 komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.